Penulis: Mardiana Rusli (Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Sulawesi Selatan, Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Selatan periode 2013-2018, Peserta She Leads Indonesia 2021). Diterbitkan di Koran Fajar, 5 Oktober 2021
Praktik kehidupan politik perempuan mengalami pasang surut. Dari aspek keterlibatan perempuan dalam dunia politik masih membutuhkan perjuangan dalam memperkuat eksistensi dan posisi di rana publik. Jika melihat grafik perkembangan perempuan di lembaga legislatif dan penyelenggara pemilu jumlahnya fluktuatif.
Data riset Pusat Kajian Politik (Puskapol ) FISIP Universitas Indonesia dalam kegiatan virtual She Leads Indonesia 2021, 27-30 September 2021, untuk tingkatan DPR RI anggota legislatif (aleg) secara angka tahun 2004 dari 550 kursi 11% Aleg perempuan, 2009 dari 560 kursi 18% Aleg perempuan , 2014 dari 560 kursi 17% Aleg perempuan dan 2019 dari 575 kursi 20% Aleg perempuan. Kesenjangan jumlah perempuan dan laki-laki di struktur penyelenggara pemilu timpang. Periode 2012-2017 di KPU RI dari 7 komisioner jumlah 6 laki-laki dan 1 perempuan dan Bawaslu RI 5 komisioner jumlah 4 laki-laki dan 1 perempuan. Periode berikutnya 2017-2022 jumlah perempuan tidak meningkat, menyisahkan satu komisioner
Tahun keemasan keterlibatan perempuan di penyelenggara periode 2007-2012 di KPU RI dari 7 komisioner, 3 diantara perempuan dan Bawaslu periode 2008-2012 dari 5 komisioner, 3 diantara perempuan.
Direktur Puskapol LPPSP FISIP UI, Aditya Perdana dan fasilitator, Wahidah Suaib secara bergantian mengulas kesenjangan politik perempuan tidak lepas dari sistem politik kepartaian dan sistem pemilu dan karakteristik kelembagaan, perspektif gender di ruang kompetisi, produk hukum masih belum berkeadilan gender dan kemampuan manejerial mempersiapkan diri bertarung di ruang publik.
Penulis berpandangan dari diskusi yang berkembang, situasi ini tidak terlepas dari dua aspek saling terkait satu sama lain (cross cutting) yakni jebakan oligarki partai dan kurang keserataan di ruang kompeteisi.
Jebakan Oligarki Partai
Titik awal peluang keterlibatan perempuan dalam struktur partai politik, dimulai keberpihakan produk UU Pemilu dan UU Partai Politik. Partai Politik memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% diatur dalam AD dan ART Partai Politik. Di sistem pemilu proposional terbuka dengan penerapan zipper system yang mengatur dari tiga bakal calon legislatif sekurang-kurangnya satu orang perempuan.
Pemenuhan kebutuhan biasanya dilakukan jelang pemilihan. Perempuan hanya sekedar pemenuhan syarat administrasi 30% dalam satu daerah pemilihan (dapil). Realitas ini bisa berdampak pada pembajakan nama-nama perempuan potensial dalam struktur kepartaian dan struktur pencalegkan tanpa meminta persetujuan perempuan yang dilibatkan. Perempuan menjadi korban politik jelang pemilihan dengan adanya pergeseran dapil dari dapil asal yang menjadi basis konsituen juga telah menanam investasi sosial ke dapil yang baru dan kering.
Keberpihakan partai politik dimasa kampanye, subordinasi struktur juga mempengaruhi ruang publik bagi perempuan. Di masa kampanye branding personal caleg perempuan tidak seluas caleg laki-laki, sehingga kalah pamor dimata pemilih. Sisi lain sumber ekonomi caleg perempuan untuk biaya kampanye dan politik uang karena tidak adanya pembatasan pembiayaan kampanye dan belanja kampanye.
Kurang Kesetaraan di ruang Kompetisi
Meski dari waktu ke waktu, penguatan affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik menuju arah lebih baik dan disempurnakan. Ketimpangan itu masih terasa, dimana pertarungan perempuan tidak lepas dari ruang kompetisi yang sempit quota 30 %. Sehingga persaingan antara perempuan potensial terjadi sengit dan menutup ruang perempuan lainnya. Kebijakan ini, menurut penulis, diskriminatif keberadaan perempuan yang akan bertarung lebih besar kans jika dibuka ruang kompetisi yang adil tanpa ada sekat 30%.
Hasilnya masih ada penyelenggara pemilu di KPU dan Bawaslu daerah yang tidak memiliki komisioner perempuan. Dalam seleksi alam berpikir para tim seleksi sering kali tidak berspektif dan keadilan gender. Fakta ini menunjukan ketimpangan minat dan rekrutmen penyelenggara pemilu.
Spirit Regenerasi dan Political Will
Dua aspek masalah di atas hendaknya menjadi catatan kritis. Perempuan tidak hanya sebagai pendidik tetapi juga penggerak generasi berkelanjutan. Saat ini, konsolidasi gerakan perempuan secara kelembagaan terus berdenyut langkah politiknya. Spirit regenerasi dilakukan dalam tiga gerakan yakni peningkatan kualitas individu perempuan, pelatihan kelembagaan untuk persiapan pemimpin perempuan penyelenggara pemilu seperti dilakukan oleh Puskapol UI dan peningkatan political will afirmasi keterwakilan di parlemen untuk penguatan hak politik perempuan melalui produk perundang-undangan. (*)