Dr. phil. Aditya Perdana
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI
Artikel ini dimuat oleh koran Sindo 22 Maret 2017
MARET ini, DPR RI melakukan kunjungan studi banding ke Jerman dan Meksiko dalam rangka mempelajari sistem pemilu di kedua negara. Berbagai reaksi negatif muncul karena biaya studi banding yang besar dan menyayangkan sikap DPR yang tidak mempertimbangkan secara serius masukan para ahli pemilu di Indonesia.
Dalih DPR dalam melakukan studi banding ini adalah pendalaman terhadap isu-isu krusial terkait usulan perubahan sistem pemilu dari proportional representation (PR) menjadi mixed member proportional representation (MMP). Di kedua negara tersebut memang MMP sukses diterapkan.
Namun pertanyaan yang paling mendasar untuk didiskusikan adalah mengapa hal tersebut penting dilakukan sekarang manakala kerumitan perubahan jadwal pemilu serentak akan dimulai pada 2019? Tulisan ini akan mencoba menganalisa pandangan politisi terkait agenda reformasi sistem pemilu.
Urgensi Reformasi Sistem Pemilu
Esensi pemilu terletak pada sisi bagaimana mengubah suara pemilih menjadi kursi keterwakilan. Reformasi sistem pemilu juga memperdebatkan variabel kunci seperti formula pemilihan dalam menghitung kalkulasi alokasi kursi seperti yang diinginkan oleh para politisi. Secara umum, ada dua sistem pemilu di dunia yaitu sistem mayoritas plural dan sistem proportional representation (PR). Sementara ada sebagian negara mengadopsi dua sistem yaitu mixed member proportional representation (MMP).
Dalam beberapa studi tentang pemilihan umum yang dilakukan oleh Administration and Cost of Elections Project (ACE Project), perubahan dalam sistem pemilu dipengaruhi oleh dua kondisi. Pertama, para politisi yang kurang memahami secara rinci tentang perubahan yang diinginkan disertai dengan informasi yang juga kurang memadai dalam promosi sistem baru tersebut akan menimbulkan konsekuensi dan dampak yang memiliki pengaruh yang tidak diinginkan di kemudian hari. Pandangan ini akan sangat berbahaya manakala para pembuat kebijakan benar-benar tidak memperhitungkan risiko sosial dan politik ke depan.
Kedua, para politisi yang memahami perubahan-perubahan yang rinci malah dengan baik mempromosikan perubahan karena mereka dengan sadar memahami ada kepentingan politik yang akan diraih oleh diri mereka sendiri ataupun partai politiknya. Kondisi yang terakhir memungkinkan akan terciptanya keajegan sistem pemilu di masa datang. Namun demikian, reformasi sistem pemilu adalah negosiasi para politisi, maka kita harus memahami bahwa pertimbangan yang terkait dengan kepentingan politik mereka menjadi sangat penting dalam setiap keputusan ini.
Betul bahwa ranah pembuatan kebijakan politik seperti pemilu ada di tangan DPR dan pemerintah, namun masukan publik pun harus dihargai dan diakomodasi dalam proses pembuatan kebijakan ini, seperti yang kerap kali disampaikan oleh para aktivis LSM pemilu dan peneliti pemilu kita belakangan ini.
Bahkan warga di British Columbia Kanada saja dapat terlibat dalam referendum sistem pemilu mereka pada 2009. Oleh karenanya, esensi keterlibatan publik itu diarahkan bahwa untuk membangun kelembagaan politik yang kuat tentu memiliki tujuan dalam menstabilkan pemerintahan demokratis. Namun, ruang-ruang perubahan pun dapat diakomodasi agar tercipta kondisi yang lebih baik.
Tren Perubahan Sistem Pemilu
Menurut laporan ACE Project, ada banyak negara yang melakukan langkah-langkah serius dalam perubahan sistem pemilu. Sebagian besar negara-negara di dunia memang melakukan perubahan tersebut dengan alasan untuk memperkuat derajat keterwakilannya, terutama menuju ke sistem PR.
Sebagian negara-negara di dunia yang mengadopsi sistem mayoritas plural berubah menjadi MMP. Namun, berdasarkan laporan tersebut, tidak ada yang melakukan perubahan sebaliknya, dari mixed system ke majoritarian pluralist system.
Yang menarik adalah, ada empat negara, menurut ACE Project, melakukan perubahan dari list proportional representation (PR) menjadi MMP. Negara tersebut adalah Bolivia, Venezuala, Romania, dan Ukraina. Dalam konteks itulah, seharusnya DPR mempertimbangkan kajian di empat negara ini karena perubahan yang diinginkan searah dengan sistem yang kita anut saat ini, yaitu list PR.
Sementara, Jerman dan Meksiko mengadopsi mixed system dalam kondisi yang stabil. Artinya memang benar terjadi adanya tren perubahan, tetapi DPR sendiri juga harus benar-benar serius melakukan kajian perubahan yang diinginkan.
Quo Vadis?
Setelah reformasi 1998, Indonesia mengalami perubahan sistem pemilu yang mendasar sebanyak dua kali yaitu pada 1999 dan 2004. Pada 1999, oleh karena adanya desakan kelompok mahasiswa yang kuat untuk melakukan reformasi kelembagaan politik, para politisi DPR dan pemerintah bersepakat untuk tetap melanjutkan sistem PR dengan daftar tertutup dan berbagai penyesuaian seperti multipartai yang baru diterapkan.
Namun, perubahan drastis terjadi pada 2004 manakala sistem PR daftar tertutup menjadi daftar terbuka dengan menerapkan nomor urut di daftar kandidat. Alasan sistem yang lebih terbuka diterapkan adalah membuka kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memilih langsung kandidat yang diinginkan.
Sayangnya, sistem PR terbuka berdasarkan daftar urut pun ternyata tidak sepenuhnya menunjukkan hasil yang memuaskan. Kandidat terpilih pun masih ditentukan oleh kuasa pimpinan parpol karena alasan berdasarkan nomor urut. Sementara pada 2009, pemilih dapat sepenuhnya menentukan kandidat yang diinginkan tanpa intervensi oleh pimpinan partai.
Sepanjang yang saya ketahui dan berbasarkan observasi di setiap pemilu setelah reformasi, para politisi DPR selalu berdebat tentang perubahan sistem pemilu di setiap lima tahun. Sejak 2007, debat terhadap sistem pemilu berkutat antara PR dengan daftar terbuka atau tertutup. Pada 2017 ini, diskusi reformasi sistem pemilu diarahkan adanya gagasan penerapan sistem MMP. Lalu pertanyaannya, mau dibawa ke mana arah reformasi sistem pemilu kita apabila di setiap menjelang pemilu selalu terjadi perubahan-perubahan krusial?
Seperti yang kita ketahui, kepentingan para politisi terhadap reformasi pemilu memang didasarkan keinginan untuk mempertahankan suaranya di masing-masing dapil. Salah satu alasan yang rasional bagi pendukung MMP, misalkan, adalah memberi kesempatan mendapatkan kursi yang proporsional bagi partai-partai kecil dan menengah.
Di samping itu, MMP juga menjamin adanya ikatan yang lebih kuat untuk dua hal, yaitu politisi dengan pemilihnya dan politisi dengan partai politiknya. Dua hal ini yang memang selalu menjadi alasan kuat di antara para politisi untuk melakukan reformasi sistem pemilu: akomodasi kelompok partai politik yang kecil dan memperkuat hubungan politisi dengan partainya.
Sayangnya, manakala DPR mengajukan diri untuk melakukan reformasi sistem pemilu agar keterwakilan politik kita menjadi lebih baik, hal tersebut malah dicorengi dengan perilaku mereka sendiri yang buruk di hadapan publik. Di samping itu, perilaku anggota DPR yang menafikan kajian serius para ahli pemilu kita dan lebih memilih melakukan studi banding ke negara lain dengan waktu relatif singkat, hal ini juga menunjukkan ketidakseriusan DPR dalam melakukan reformasi sistem pemilu yang mereka inginkan.
Padahal seperti yang diingatkan oleh para ahli pemilu dunia dalam studi ACE Project, perubahan sistem pemilu membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis dan perlu mengukur dampak serius serta matang yang harus diprediksi sejak jauh hari. Reformasi sistem pemilu bukan semata-mata diusulkan hanya demi kepentingan politisi dan partai politik saja.
Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa agenda kodifikasi UU Pemilu dan penyatuan jadwal pemilu pada 2019 adalah prioritas kebijakan yang perlu mendapat perhatian serius oleh DPR dan pemerintah ketimbang melakukan sebuah reformasi sistem pemilu yang belum terbayang dampak dan konsekuensi politik yang dihadapi nanti.