Sumber: Irwansyah
Penulis: Muhammad Wiega Permana
Pewawancara: Muhammad Wiega Permana & Fuadil ‘Ulum
Dalam beberapa waktu terakhir, perguruan tinggi Indonesia dipenuhi isu tidak menyenangkan yang silih berganti. Beberapa kampus menaikkan biaya perkuliahan yang mempersulit para mahasiswa. Selain itu, terjadi pula dugaan kecurangan akademik yang dilakukan oleh akademisi kampus. Permasalahan-permasalahan tersebut sebenarnya bukan hal yang baru di dunia akademik. Bahkan, hal-hal tersebut bukanlah fenomena yang berdiri sendiri, melainkan berkelindan di dalam suatu kebijakan dan pergeseran logika perguruan tinggi.
Untuk menjawab permasalahan yang terjadi, PUSKAPOL UI berbincang dengan Irwansyah. Mas Jemi, begitu kerap ia disapa, adalah seorang dosen Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia yang mengajar mata kuliah Politik Perburuhan dan Hubungan Industrial. Bersama Mas Jemi, artikel ini akan mengulas kebijakan mengenai perguruan tinggi yang sudah berlangsung selama dua dekade di Indonesia dan bagaimana dampaknya terhadap penurunan kualitas pendidikan perguruan tinggi, hingga penurunan kesejahteraan para pekerja kampus, terutama dosen.
Dalam beberapa waktu terakhir, perguruan tinggi mengalami penurunan kualitas dan pengelolaan. Menurut hemat Mas Jemi, sebenarnya situasi sosial-politik apa yang memicu hal-hal tersebut?
Sebenarnya kejadian-kejadian tersebut didorong oleh situasi pada satu hingga dua dekade terakhir. Indonesia sempat mengalami krisis moneter di tahun 1998. Krisis tersebut mempengaruhi anggaran negara secara signifikan, termasuk di sektor pendidikan. Dalam rangka pemulihan krisis, Indonesia menandatangani letter of intent dengan IMF atau International Monetary Fund sebagai pemberi pinjaman untuk mengatasi hutang pada masa itu. Tiga komponen besar dari letter of intent itu adalah privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi untuk mengurangi beban pemerintahan. Dari situ, privatisasi mendorong negara untuk melucuti industri atau sektor yang seharusnya diinvestasikan besar oleh negara, termasuk juga sektor pendidikan.
Privatisasi ini mengubah paradigma pendidikan tinggi di Indonesia, yang tadinya sangat state-led, dipandu negara, bahkan dikontrol negara, beralih kepada dorongan untuk menjadi lebih privat, yang mana perguruan tinggi dibebankan untuk mencari dana sendiri dan lain-lain. Kita sempat mengenal hal tersebut dengan BHMN atau Badan Hukum Milik Negara di tahun 2000. Sekarang, kita mengenalnya sebagai PTN BH atau Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum. Pada akhirnya, privatisasi itu mengubah gaya perguruan tinggi yang tadinya bersifat sangat publik, secara gradual dan evolutif semakin bergerak ke arah privat yang berefek kepada kerja-kerja perguruan tinggi yang menjadi seperti korporat. Sederhananya, privatisasi itu melepaskan tanggung jawab negara untuk membiayai pendidikan sebagai barang publik.
Sederhananya, privatisasi itu melepaskan tanggung jawab negara untuk membiayai pendidikan sebagai barang publik.
Irwansyah
Apakah privatisasi tersebut akhirnya yang menjadi pemicu penurunan kualitas dan pengelolaan perguruan tinggi?
Betul. Namun, pada kenyataannya, selama dua dekade terakhir ini, dana dari pencarian mandiri oleh perguruan tinggi itu sendiri juga sedikit. Sebetulnya, universitas itu bukan suatu entitas yang punya kemampuan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Ketika Indonesia memutuskan untuk melakukan privatisasi ini, perbandingannya adalah kampus-kampus elite di luar negeri seperti Harvard dan lain-lain, yang sebenarnya punya dana abadi. Dalam konteks Indonesia, privatisasi pendidikan itu berlangsung dalam bentuk anarkisme pasar, secara berantakan. Justru, sekarang ini, menciptakan konsekuensi, yang salah satunya adalah kenaikan biaya kuliah untuk mahasiswa. Padahal, pendidikan itu adalah komoditas publik. Sebetulnya hal ini sulit dilakukan karena ada mandat dan konstitusi kita yang memastikan bahwa peserta pendidikan tidak boleh putus sekolah karena tidak memiliki biaya. Namun, kemudian dibuatlah berbagai inovasi, yang salah satunya dan paling ekstrem, seperti pinjol (pinjaman online). Padahal, di negara-negara kapitalis maju, terutama Eropa dan Australia, perguruan tinggi masih menerima grand dari negara.
Apa dampak privatisasi ini terhadap dosen?
Dalam konteks dosen, privatisasi tersebut memosisikan dosen seperti pekerja korporat yang dikejar-kejar dengan berbagai target, salah satunya BKD atau Beban Kerja Dosen. Selain BKD, masih ada borang-borang lainnya yang membuat kerja dosen semakin berat dari waktu ke waktu. Padahal, waktu yang dimiliki dosen sudah habis untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan perkuliahan, melakukan penilaian, riset, dan pengabdian masyarakat. Bahkan, tidak jarang juga dosen mencari proyek dari pihak ketiga untuk mendatangkan pemasukan. Di perguruan tinggi swasta hal ini disebut sebagai poin ke-4 dari Catur Darma. Sebagai konteks, di luar upah pokok, negara juga memberikan sertifikasi dosen atau kompensasi. Jika ada satu komponen yang tidak terpenuhi sesuai standar yang diminta, maka kompensasi tersebut tidak akan dibayarkan.
Kewajiban pemenuhan target ini juga mendorong potensi pelanggaran secara akademik. Misalnya, di masa sekarang, agar dosen bisa menjadi guru besar, mereka dituntut untuk publikasi dalam jurnal terindeks Scopus. Hal ini juga yang mendorong tumbuh suburnya industri jurnal predator ataupun jasa fasilitas penerbitan jurnal, dan lain-lain. Akibatnya, terjadi banyak celah di dalam pelaksanaan privatisasi itu untuk tindakan-tindakan pelanggaran. Hal lainnya adalah, sekarang, dosen bisa mendapatkan status pegawai universitas, bukan lagi mayoritas PNS (pegawai negeri sipil) seperti dulu. Namun, kejelasan status upahnya juga tidak terlalu dipikirkan. Dosen-dosen itu upah pokoknya di bawah UMP (upah minimum provinsi). Artinya, pegawai universitas itu status penggajiannya meniru PNS. Padahal, mereka kan sebetulnya bukan PNS. Itu yang menjadi celah-celah pelanggaran atau penyalahgunaan kebijakan.
Apa dampak hal tersebut terhadap kesejahteraan dosen?
Kesejahteraan dosen itu problematik. Sebetulnya, selama puluhan tahun di Indonesia, dosen tidak memperlakukan pekerjaannya sebagai sumber pendapatan yang paling utama. Hal itu karena kecilnya kompensasi yang tersedia di mayoritas lembaga pendidikan. Biasanya orang terus bertahan menjadi dosen, untuk menjadi pengajar, karena memang memiliki passion atau minat yang besar di satu subjek atau disiplin ilmu tertentu. Makanya, menjadi dosen itu dulu disebut sebagai pengabdian. Namun, sekarang ini, konsep pengabdian menjadi semakin problematik karena waktu, beban, dan risiko kerja yang tinggi. Jangan pikir bahwa dosen itu tidak rentan kepada penyakit terkait kerja, seperti tingkat stres yang tinggi dan efek dari paparan monitor yang terus-menerus. Terlebih tidak ada support untuk urusan kesehatan, apalagi kesehatan mental, atau transportasi dan lain-lain. Jadi, itu semua menjadi aspek-aspek yang tidak diperhitungkan ketika orang bicara tentang kesejahteraan dosen.
Dosen di Indonesia masih dibayangkan sebagai orang yang berkecukupan secara ilmu maupun secara materi. Dosen dianggap tidak punya masalah dengan persoalan yang dianggap mendasar bagi rakyat. Bahkan, seringkali dosen itu dibayangkan sebagai orang yang seharusnya turun mengatasi masalah-masalah rakyat karena dia sudah berkelebihan. Padahal, pada kenyataannya sekarang, semakin terang-benderang bahwa dosen itu sama dengan kelompok pekerja lainnya. Hanya saja, karena selama puluhan tahun dibentuk persepsi seperti itu, para dosen menginternalisasi diri hal tersebut. Pada akhirnya, kebanyakan dosen merasa dirinya bukan pekerja. Mereka merasa dirinya seperti intelektual di atas menara gading yang terbebas dari masalah-masalah material dan pekerja.
Padahal, pada kenyataannya sekarang, semakin terang-benderang bahwa dosen itu sama dengan kelompok pekerja lainnya.
Irwansyah
Apa yang sudah dilakukan oleh para akademisi untuk merespons isu kesejahteraan dosen tersebut?
Salah satu yang sebenarnya sudah dilakukan adalah dengan berserikat melalui SPK atau Serikat pekerja Kampus. Sebenarnya, kesadaran untuk melihat dosen sebagai pekerja baru muncul beberapa tahun terakhir. Generasi dosen yang baru, yang lebih muda kan, lebih terpapar dengan informasi bahwa di negara lain berlaku hubungan kerja akademik yang harus diatur secara profesional, baik, dan adil. Banyak dari mereka yang pulang sekolah dari luar negeri dan melihat perbandingan-perbandingan praktik pendidikan tinggi di negara lain. Pada akhirnya, mulai muncul kesadaran untuk mengkritik praktik dan kesadaran yang ada selama ini.
Selain itu, terbukanya media sosial juga menjadi salah satu pemicunya. Terbentuknya SPK juga salah satunya diakselerasi oleh percakapan di dunia media sosial. Jadi, para akademisi antarkampus yang tadinya tidak saling mengenal, bisa saling bercuit dan menanggapi. Kemudian, ada percakapan, diskusi, permusyawaratan secara digital. Kemudian berlanjut dengan pertemuan fisik di tahun 2023 melalui kongres pendirian SPK. Misi SPK ini adalah memperjuangkan kepentingan dosen, bukan hanya dalam isu kebebasan akademik, tapi juga dalam isu-isu dosen sebagai pekerja.
Berkaitan dengan kualitas pendidikan, mengapa otonomi secara ekonomi yang diberikan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan?
Sebelumnya, saya tidak bisa bilang semua institusi pendidikan tinggi memiliki kualitas pendidikannya yang jelek, ya. Secara mayoritas di Indonesia, tidak ada perbandingan lurus antara otonomi ekonomi dan kualitas akademik. Hal ini karena privatisasi di Indonesia memang belum siap untuk dilaksanakan oleh seluruh universitas. Bahkan, perguruan tinggi yang elite seperti UI, ITB, dan UGM pun juga masih tergopoh-gopoh untuk memenuhinya. Pada akhirnya, mereka melakukan banyak eksperimen. Sayangnya, ketika terjadi banyak kegagalan eksperimen tersebut, kegagalan tersebut tidak dipertanggungjawabkan kepada stakeholder yang luas, yaitu publik. Hal itu terjadi karena perguruan tinggi seolah-olah mengikuti korporasi secara kelembagaan, salah satunya dengan dibentuknya MWA atau Majelis Wali Amanat. Kalau kita bedah MWA, sebetulnya unsur publik yang dominan di dalamnya berasal dari kalangan pengusaha. Mereka ini tidak punya kepentingan serius dalam urusan demokratisasi dan kualitas pendidikan untuk rakyat. Perwakilan dari mahasiswa juga biasanya juga tidak organik hubungannya dengan mahasiswa. Mereka bukan perwakilan dari BEM atau dari lembaga-lembaga mahasiswa, melainkan lewat pemilihan tersendiri yang bahkan orang-orangnya tidak dekat dengan dengan mahasiswa. Terlebih, masa baktinya juga pendek. Jadi, secara institusi seolah-olah ada ruang demokratisasi untuk mengontrol atau menjaga mutu pendidikan, tapi secara ekonomi politik, lembaganya mengandung imbalance of power atau ketidakseimbangan kekuasaan yang ekstrem. Pada akhirnya, orientasinya juga bersifat ekstrem ke arah survival dari anggaran keuangan pengelolaan universitas saja, ketimbang pertanggungjawaban pada masyarakat secara luas. Jadi, jika ditanyakan mengapa tidak berbanding lurus dengan tren peningkatan kualitas pendidikan, karena kontrol publik juga semakin lemah di dalam privatisasi itu.
Lalu, siapa yang diuntungkan dari privatisasi ini? Ya, pastinya institusi privat, dalam hal ini perusahaan atau korporasi. Mereka mendapatkan akses yang lebih besar kepada perguruan tinggi ketimbang publik itu sendiri. Pada akhirnya, korporasi atau mereka yang memiliki kepentingan akan mendapatkan justifikasi dari kalangan pendidikan tinggi. Misalnya, kita sering mendengar saksi ahli yang datangnya dari universitas-universitas untuk kasus-kasus rakyat. Nah, sering kali kampus-kampus masih lebih berpihak kepada korporasi ketimbang kepada rakyat yang mengalami kasus-kasus seperti perampasan tanah atau korban kekerasan. Jadi, memiliki hubungan dengan perguruan tinggi menjadi penting untuk kebutuhan survival korporasi. Hal ini menunjukkan bahwa korporasi dan negara semakin melebur pasca-1998. Hal itu menjadi musuh baru atau menjadi penindas baru bagi kebebasan akademis dan demokratisasi kampus.
Sebagai penutup, menurut Mas Jemi, apa yang menjadi tantangan bagi akademisi ketika melakukan kritik dan mendorong perubahan terhadap sistem saat ini?
Sebenarnya, masih banyak protes-protes yang berjalan. Namun, sesudah masa studi makin diperpendek, lalu biaya pendidikan diperbesar, itu semua memberikan beban yang berat kepada kelompok-kelompok kritis untuk terus bisa mengontrol secara terus-menerus. Sementara itu, kelompok-kelompok yang kritis belum bisa melembaga untuk melakukan kritik secara strategis. Terlebih, rezim penghukum di masa sekarang semakin kompleks. Penghukumannya tidak dilakukan hanya oleh institusi pendidikan itu sendiri. Ada berbagai macam, salah satunya UU ITE. Kalau dulu, represi dan censorship itu dipimpin langsung oleh negara. Kalau sekarang kan tersebar atau terdesentralisasi, tetapi dengan cepat bisa menghukum atau melakukan represi kepada kalangan intelektual.
Sementara itu, sistem yang ada tetap memberikan celah bagi mereka yang melakukan pelanggaran dengan mengotak-atik mekanisme. Intinya, represi di masa sekarang lebih kompleks daripada di masa Orde Baru. Kalau di masa Orde Baru, target atau muaranya selalu ke negara untuk mempertanggungjawabkan represi atas demokratisasi yang dilakukan kepada kalangan perguruan tinggi. Bahkan, di masa Orde Baru, walaupun di bawah otoritarianisme, kalangan pendidikan tinggi kita masih banyak yang kritis. Dulu, rektor-rektor UI selalu melindungi gerakan demokrasi bahkan hingga jatuhnya Soeharto. Namun, pasca-Reformasi, justru ketika seolah-olah negara tidak represif, sekarang praktik represif tersebut didelegasikan kepada para aparatus baru ini yang berada di dalam perguruan tinggi itu sendiri. Jadi persoalannya, zaman yang berubah ini telah mengakibatkan munculnya bentuk-bentuk represi dan pembatasan di dalam dunia pendidikan tinggi yang sayangnya belum bisa diatasi.
Namun, pasca-Reformasi, justru ketika seolah-olah negara tidak represif, sekarang praktik represif tersebut didelegasikan kepada para aparatus baru ini yang berada di dalam perguruan tinggi itu sendiri.
Irwansyah