POLITIK IDENTITAS DALAM KAMPANYE PEMILU 2019
Masa kampanye Pilpres 2019 seyogianya menjadi sarana bagi masyarakat untuk memperoleh informasi mengenai gagasan yang ditawarkan oleh kandidat paslon. Publik menanti munculnya beragam narasi programatik yang akan dijadikan dasar dalam menentukan pilihan di tanggal 17 April mendatang. Sayangnya, masa kampanye yang telah berlangsung kurang lebih lima bulan terakhir masih didominasi oleh kampanye yang mengkapitalisasi isu-isu SARA, politik identitas, konten berita palsu dan ujaran kebencian, serta olok-olok politik antar kubu terkait isu-isu yang tidak substantif. Kondisi ini juga diperparah dengan masifnya mobilitas kampanye di media sosial, melalui mobilisasi influencers dan pasukan buzzer dalam rangka mempercepat peny amplifikasi dan penyebaran isu. Alih-alih mendorong proses pemilu yang berkualitas, fenomena ini justru semakin menambah polarisasi di masyarakat, bahkan disinyalir semakin mendorong apatisme terhadap pemilu dan menguatnya gerakan mendorong golput.
Menyikapi permasalahan tersebut, Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) mengadakan riset tentang “Mengelola Politik Identitas: Strategi Kontra-Naratif Melawan Politisasi Politik Identitas Dalam Pemilu 2019 Melalui Keterlibatan Tim Kampanye Kandidat”. Riset ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih kompehensif mengenai peta isu dan pengelolaan isu politik identitas pada Pemilu 2019 serta penyusunan rekomendasi untuk mendorong kampanye programatik dan strategi kontra narasi terhadap politisasi isu identitas. Riset ini dilakukan dengan dengan metode FGD dan wawancara mendalam dengan para pakar dunia digital, akademisi, pegiat pemilu, media, perwakilan masing-masing tim kampanye paslon. Adapun pelaksanaan riset dilakukan di tingkat nasional dan tiga daerah dengan tingkat kerawanan pemilu yang tinggi (berdasarkan data IKP 2018 Bawaslu-RI), yakni Provinsi DIY (Yogyakarta), Provinsi Sumatera Utara (Medan), dan Provinsi Kalimantan Barat (Pontianak).
Ada beberapa temuan riset yang menurut kami penting untuk menjadi perhatian serius bukan saja oleh tim kedua paslon tetapi juga para pemangku kepentingan dalam Pemilu 2019. Pertama, konteks kontestasi saat pilpres saat ini merupakan residu dari tajamnya polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas yang terjadi selama Pilpres 2014 dan Pilgub DKI Jakarta 2017. Dengan kata lain, ada semacam dinamika kontestasi dan polarisasi yang terus dirawat. Kedua, desain elektoral yang menetapkan adanya presidential threshold turut meningkatkan intensitas polarisasi politik, karena secara politis hanya membuka peluang munculnya dua kandidat. Ketiga, fenomena industri konsultan politik, influencer, dan buzzer dalam kampanye digital paslon. Selain berperan penting dalam menentukan produksi isu dan amplifikasi konten kampanye di platform digital, peran mereka juga turut memperburuk polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas. Kita dapat melihat secara nyata setiap isu-isu non-programatik terus direproduksi dan diglorifikasi oleh cyber army masing-masing kubu. Keempat, keserantakan Pemilu 2019 menyebabkan lebih dominannya isu pilpres dan meminggirkan perhatian terhadap Pileg, baik DPR RI, DPD, maupun DPRD Provinsi dan Kab/Kota. Kelima, media sebagai sumber informasi publik justru cenderung memiliki preferensi terhadap isu-isu non programatik dalam pemberitaannya.
Kondisi lainnya dapat dilihat dari temuan di tiga daerah. Narasi kampanye yang dominan di tingkat nasional justru meminggirkan isu-isu lokal dalam kampanye caleg dan parpol di daerah. TKD dan BPD yang umumnya hanya meneruskan konten dari pusat membuat framing isu tidak sesuai dengan konteks dan konstelasi politik di tingkat lokal. Hal ini membuat caleg di tingkat lokal berada dalam kondisi rumit karena terpecahnya konsentrasi parpol antara fokus terhadap pileg dan pilpres. Parpol dan caleg mengalami dilema untuk mengelola isu kampanye pilpres di dapil dengan kharakteristik pemilih yang beragam.
Jika kondisi-kondisi dari temuan di atas terus berlanjut, kampanye yang telah dan masih akan terus berlangsung tidak akan memberi manfaat yang berarti bagi public pemilih, terutama bagi kelompok undecided voters. Publik pun sudah menunjukkan respon negatif terhadap maraknya isu-isu non-programatik. Dari dua debat yang telah berlangsung, jelas terlihat bagaimana publik menginginkan hadirnya pertarungan gagasan dan ide dari masing-masing kandidat. Untuk itu, PUSKAPOL UI menawarkan beberapa rekomendasi dalam upaya memperbaiki kualitas kampanye di sisa waktu masa kampanye yang ada untuk menjamin terwujudnya pemilu yang berintegritas.
Pertama, perlu adanya penguatan koordinasi antara pusat dan daerah dalam konteks pengelolaan isu-isu kampanye. Isu-isu lokal harus diangkat sesuai dengan konteks dan kebutuhan masing-masing daerah dan tidak melulu didominasi oleh isu nasional. Kedua, tim kampanye masing-masing kandidat bertanggung jawab mengontrol manajemen isu kampanye agar tidak menimbulkan distrosi informasi dan kampanye liar di media sosial. Ketiga, masa kampanye yang panjang yang menyebabkan gimmick politik lebih banyak muncul di awal dan narasi programatik baru muncul di bulan-bulan akhir masa kampanye tidak relevan dijadikan alasan. Parpol seyogiayanya bekerja sejak dini dan terus-menerus dalam upaya mengetahui kebutuhan konstituen sehingga sepanjang apapun masa kampanye, selalu ada konten substantif yang ditawarkan. Keempat, pentingnya kampanye programatik berbasiskan data yang valid dan mendorong fact-checking untuk mengisi perdebatan publik dengan argumen berbasis data sehingga meminimalisir isu politisasi identitas. Untuk strategi ini, media dan kelompok masyarakat sipil perlu aktif mengambil bagian dalam upaya meredam politisasi identitas dan melakukan kontra narasi terhadap politisasi isu-isu identitas, berita hoax dan ujaran kebencian.