Alih-alih menjadi tonggak konsolidasi demokrasi, pelaksanaan pemilu 2019 justru menorehkan banyak catatan kritis bukan saja terkait penyelenggaraan pemilu serentak, tetapi juga persoalan integritas pemilu itu sendiri.
Pasca pemungutan suara tanggal 17 April lalu, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) mendadak menjadi pihak yang paling banyak mendapatkan serangan isu-isu negatif, terutama di media sosial. Setidaknya begitulah yang tergambar dari hasil analisis big data yang dilakukan Laboratorium Big Data Analytics PolGov UGM selama rentang waktu 12-22 April 2019.
Berdasarkan data yang diambil dari jumlah dan sebaran percakapan di Twitter, ditemukan bahwa dari total 13.030 percakapan, lebih dari 50% menyerang KPU dengan tuduhan tidak netral dan berpihak kepada salah satu paslon. Penggunaan tagar #KPUberpihak #KPUtersandera #KPUtidaknetral pun ramai digunakan untuk mengekspresikan ketidakpercayaan pada KPU, yang dilakukan sepanjang periode pemilu: baik sebelum, saat dan sesudah hari pemungutan suara.
Lebih detil, laporan Big Data Analytics menyebutkan bahwa jumlah percakapan negatif yang menyerang KPU mencapai 8.498 percakapan, atau sekitar 54,9%. Angka ini jauh melebihi jumlah serangan yang didapatkan oleh paslon, dimana Paslon 01 hanya mendapat serangan isu negatif sebanyak 4.993 percakapan (32,3%) dan Paslon 02 sebanyak 1.995 percakapan (12,9%). Hasil analisis tersebut juga menemukan adanya variasi isu negatif yang menyerang KPU pada periode sebelum, saat dan sesudah hari pemungutan suara. Sebelum hari H pemilu, isu negatif yang menyerang KPU lebih banyak menyoroti soal kecurangan pemilu, dengan isi percakapan menyoal surat suara tercoblos, kecurangan di Malaysia, serta isu diretasnya server KPU. Pada hari H pemilu, isu negatif yang menyerang KPU lebih banyak merespon polemik terkait hasil hitung cepat (quick count) yang dirilis oleh beberapa lembaga survey. Adapun sebaran isunya mencakup percakapan tentang quick count, hitung cepat, hasil survey, penggiringan opini, dan soal surat suara yang sudah tercoblos. Sementara isu negatif yang menyerang KPU setelah hari pemungutan suara lebih berpusat pada isu kecurangan yang dilakukan oleh KPU, dengan isi percakapan terkait kecurangan, KPU tersandera, input tidak sesuai C1, dan manipulasi hasil suara oleh KPU.
Terlepas dari benar tidaknya tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada KPU, satu catatan penting dari penyelenggaran pemilu serentak 2019 adalah banyaknya kasus-kasus pelanggaran dan beberapa indikasi kecurangan membuktikan bahwa PR besar untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas ternyata masih belum tuntas. Selain menorehkan berbagai catatan kritis terkait problem keserentakan dan kerusakan tambahan (collateral damage) yang ditimbulkan, Pemilu 2019 ternyata juga menyisakan persoalan serius terkait integritas pemilu dan masa depan demokrasi di Indonesia. Alih-alih menjadi tonggak konsolidasi demokrasi, pelaksanaan pemilu 2019 justru menorehkan banyak catatan kritis bukan saja terkait penyelenggaraan pemilu serentak, tetapi juga persoalan integritas pemilu itu sendiri.
Pemilu Berintegritas
Dalam kajian kepemiluan, istilah pemilu berintegritas termasuk baru populer beberapa tahun belakangan. Global Commision on Election, Democracy and Security mendefinisikanpemilu berintegritas sebagai pemilu yang berdasarkan atas prinsip demokrasi dari hak pilih universal dan kesetaraan politik seperti yang dicerminkan pada standar internasional dan perjanjian, profesional, tidak memihak dan transparan dalam persiapan dan tantangan utama pemilu berintegritas pengelolaannya melalui siklus pemilu (Global Comission 2012). Sementara definisi lebih ringkas ditawarkan oleh Elklit dan Svensson (1997), yang mendefinisikan pemilu berintegritas sebagai pemilu yang menerapkan prinsip bebas dan adil. Dalam pelaksanaannya, sebuah pemilu bisa dikatakan berintegritas jika seluruh elemen yang terlibat di dalamnya, baik penyelenggara maupun peserta, tunduk dan patuh pada nilai-nilai moral dan etika kepemiluan. Sebaliknya, jika sebuah pemilu tidak dilaksanakan dengan basis integritas, maka akan berpotensi melahirkan penyelenggara dan peserta pemilu yang tidak bertanggung jawab, yang berimplikasi pada minimnya partisipasi politik dan hilangnya kepercayaan publik pada proses demokrasi (Nasef: 2012).
Di Indonesia sendiri, diskursus soal pemilu berintegritas ini sebenarnya telah digaungkan sejak dua dekade lalu. Pemilu 1999 bisa dibilang menjadi penanda dari dimulainya era pemilu yang bebas dan adil di Indonesia (setelah pemilu demokratis pertama pada tahun 1955). Namun dalam perkembangannya, diskursus pemilu berintegritas di Indonesia lebih banyak menyoroti tentang penyelenggara pemilu. Ada setidaknya tiga alasan mengapa integritas penyelenggara pemilu menjadi perhatian utama dalam diskusi pemilu berintegritas di Indonesia. Pertama, karena penyelenggara adalah pihak yang bertanggungjawab untuk menjamin adanya pemilu yang bebas dan adil, sehingga menjaga keyakinan publik terhadap proses demokrasi. Kedua, semakin kompleksnya teknis penyelenggaraan pemilu di Indonesia seiring dengan diterapkannya pemilu eksekutif dan pemilu legislatif baik di tingkat nasional maupun lokal. Terakhir, adanya berbagai potensi pelanggaran yang dilakukan oleh peserta dan penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki oleh penyelenggara pemilu.
Indonesia pertama kali mengadopsi konsep etika penyelenggara pemilu melalui Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 tahun 2012 dan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, yang didalamnya memuat kode etik penyelenggara pemilu yang sesuai dengan standar dan norma internasional, yakni kemandirian, imparsialitas, integritas, transparansi, efisiensi, profesionalitas, dan berorientasi pelayanan. Namun dalam realitasnya, mewujudkan integritas penyelenggara pemilu ternyata bukan hal yang mudah. Riset Puskapol UI (2017) terkait pelanggaran etika penyelenggara pemilu menunjukkan bahwa sepanjang kurun waktu 2013-2017, terdapat 2.441 jumlah aduan pelanggaran etika yang diproses oleh DKPP sebagai Mahkamah Etik Pemilu. Meskipun sebagian besar (53,2%) hasil persidangan memberikan putusan rehabilitasi nama baik penyelenggara pemilu yang menjadi teradu, namun variasi jenis sanksi yang juga diberikan selama kurun waktu tersebut juga beragam, mulai dari peringatan, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap.
Yang menarik, sebagian besar kasus aduan yang diproses dan diputuskan oleh DKPP adalah pelanggaran asas kemandirian dan keadilan penyelenggara pemilu. Modus pelanggaran etika yang terjadi juga beragam: manipulasi suara, pelanggaran hak pilih, perlakuan tidak adil, pelanggaran hukum, pembiaran, kelalaian pada proses tahapan pemilu, hingga pelanggaran netralitas dan keberpihakan. Temuan ini sesungguhnya mengkonfirmasi bahwa mewujudkan penyelenggara pemilu yang profesional, tidak memihak dan senantiasa transparan dalam pelaksanaannya merupakan tantangan utama menuju pemilu berintegritas (Global Commission on Election, 2012: 6).
Integritas Pemilu 2019?
Lalu bagaimana dengan integritas Pemilu 2019? Jika melihat pada rekam jejak pelanggaran etika penyelenggara pemilu yang terjadi sepanjang kurun waktu 2013-2017, pesimisme atau bahkan ketidakpercayaan terhadap netralitas dan kemandirian penyelenggara pemilu boleh jadi sangat wajar. Apalagi, pemilu-pemilu pasca Orde Baru di Indonesia juga masih menghadapi persoalan serius terkait politik uang dan praktik politik klientelistik (Aspinall dan Berenschot 2019), yang menyasar bukan saja kelompok pemilih tetapi juga penyelenggara pemilu.
Dugaan bahwa praktik politik uang masih marak terjadi pada Pemilu 2019 juga cukup kuat. Berdasarkan data Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Mata Rakyat Indonesia, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), KoDE Inisiatif, SPD, FITRA, Yappika-ActionAid, Indonesian Parliamentary Center (IPC), TEPI Indonesia dan Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Lingkar Madani, terdapat 44 temuan terkait politik uang selama masa tenang Pemilu 2019.Sementara laporan Bawaslu menyebutkan bahwa selama masa tenang, pengawas pemilu (panwas) sudah menangkap tangan 25 kasus politik uang di 13 provinsi di Indonesia, dengan temuan uang terbanyak didapat di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, yakni sebesar Rp190 juta (kabar24.com, 16 April 2019).
Berkaca dari ini semua, sudah sepatutnya publik tetap perlu mengingatkan agar penyelenggara pemilu mampu menjaga prinsip dan etika penyelenggara pemilu agar kepercayaan publik kepada proses dan hasil pemilu bisa tetap terjaga. Hasil survey Charta Politik soal netralitas penyelenggara pemilu pada 5-10 April lalu yang menyatakan bahwa 84,7% responden percaya KPU netral sesungguhnya sudah menjadi modal sosial luar biasa bagi KPU. Itu sebabnya, di tengah polarisasi politik yang tajam diantara kedua kubu pendukung paslon, netralitas penyelenggara pemilu (baik KPU maupun Bawaslu) akan sangat diuji. Pada masa penghitungan suara yang masih berlangsung saat ini, dengan pengawasan yang tajam dari publik luas, kekeliruan kecil yang dilakukan oleh penyelenggara akan sangat mudah menimbulkan spekulasi dari berbagai pihak.
Akhir kata, semoga KPU mampu menjawab tantangan integritas dengan menunjukkan kerja yang cepat, transparan, profesional dan jujur, demi mewujudkan pemilu yang berintegritas dan membawa masa depan demokrasi yang lebih baik di Indonesia.