A. Permasalahan
Representasi politik perempuan di Indonesia telah menjadi sebuah keniscayaan. Perjuangan gerakan perempuan untuk mengoreksi ketimpangan keterwakilan perempuan dalam institusi dan proses pengambilan keputusan mendapatkan momen penting ketika disahkannya Undang undang Pemilihan Umum Nomor 12 tahun 2003 (UU Pemilu No.12/2003) yang di dalamnya memuat pasal mengenai tindakan afirmatif. Pasal 65 UU No.12/2003 yang mengatur agar partai politik mempertimbangkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam pencalonan anggota legislatif merupakan pintu masuk bagi upaya koreksi itu. Maka pada Pemilu 2004, partai-partai peserta pemilu yang jumlahnya 48 partai, sebagian besar bisa menominasikan perempuan sebanyak 30% atau lebih. Hasilnya, DPR yang terbentuk dari hasil Pemilu 2004 menempatkan sebanyak 12 persen perempuan sebagai anggota DPR RI periode 2004-2009. Mulailah era kehadiran perempuan dalam pentas politik pengambilan keputusan dengan segala tantangan dan peluangnya.
Hasil Pemilu 2009 membawa peningkatan jumlah perempuan yang menjadi anggota legislatif, baik di DPR RI maupun DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kenaikan itu adalah: 18% di DPR RI, 16% di seluruh DPRD provinsi, dan 12% di seluruh DPRD kabupaten/kota.Hasil itu merupakan pencapaian tertinggi jumlah perempuan yang berhasil duduk di parlemen selama ini. Hasil tersebut juga menyiratkan bahwa implementasi kebijakan afirmatif telah berjalan dan cukup efektif dalam mendorong peningkatan keterwakilan politik perempuan. Sekalipun demikian yang terjadi adalah kesenjangan antara pencalonan perempuan dan keterpilihan perempuan pada pemilu. Seperti ditunjukkan di bawah ini.
Tabel 1. Kesenjangan antara Pencalonan Perempuan dan Perolehan Kursi Perempuan
Pemilu | Pencalonan perempuan untuk DPR RI | Perolehan suara perempuan (%) | Perolehan kursi perempuan di DPR |
2009 | 3.752 caleg dari 11.143 (33,6%) | 22,45 % | 101 kursi dari 560(18%) |
2014 | 2.467 caleg dari 6619 (37%) | 23% | 97 kursi dari 560 kursi
(17%) |
Di sisi lain, capaian kuantitas yang sudah terjadi sejak pemilu 2009 – memang masih belum mencapai target ideal sekurang-kurangnya 30 persen – masih menyisakan sejumlah masalah. Pengalaman tiga pemilu terakhir menunjukkan faktor non-regulasi juga berpengaruh signifikan terhadap keterpilihan perempuan. Misalnya kondisi di daerah pemilihan, seperti budaya patriarki, faktor latar belakang etnis, geografis, dan faktor dinamika politik lokal, semuanya saling mempengaruhi keterpilihan perempuan. Sikap resistensi masyarakat terhadap perempuan yang memasuki arena politik (menjadi caleg) juga masih dominan berkontribusi pada penerimaan terhadap caleg perempuan. Faktor mekanisme internal partai juga perlu diperhitungkan dalam hasil pemilu terkait keterpilihan caleg perempuan. Cukup signifikannya jumlah caleg terpilih yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan elite politik/pemerintahan juga dapat dilihat sebagai konsekuensi proses pencalonan di partai politik yang cenderung tertutup dan elitis.
Partai politik adalah hulu dan muara dari upaya peningkatan representasi politik perempuan. Namun partai politik masih menjadi penghambat dan belum bisa menjadi agen yang responsif pada tuntutan dan advokasi tentang representasi politik perempuan. Bahkan terdapat kecenderungan partai telah cukup sukses membajak agenda perempuan dan menjadikan perempuan di partai sebagai agen yang melanggengkan patriarki dan politic as usual yang berkembang di partai politik. Situasi ini memperlihatkan kegagalan dalam mereformasi sistem kepartaian di Indonesia hingga hari ini.
Membahas politik representasi perempuan maknanya bukan hanya persoalan fakta (angka, jumlah) yang bersifat deskriptif dan dihasilkan melalui proses elektoral berupa hadirnya perempuan dalam ranah jabatan di parlemen maupun di eksekutif. Tetapi makna representasi yang substantif adalah ketika representasi juga menghadirkan kepentingan dan identitas gender. Persoalan kepentingan perempuan (women interest dan gender interest) selalu menjadi perdebatan klasik dalam memaknai politik representasi perempuan yang diukur secara substantif. Sejumlah pertanyaan muncul: Apakah women issues pasti merupakan sesuatu yang disuarakan secara sama oleh semua perempuan? Apakah women interest paralel atau sejalan dengan gender interest? Apakah women interest bisa digeneralisasi sama dimana pun? Semua itu merupakan persoalan yang perdebatannya masih terus berlanjut.
Gambaran masih biasnya kebijakan terhadap kesetaraan gender juga terjadi di tingkat lokal. Selama tiga tahun terakhir, data Komnas Perempuan mencatat meningkatnya jumlah peraturan daerah yang secara substantif mendiskriminasi perempuan dan berpotensi melanggar hak asasi perempuan sebagai warga negara. Komnas Perempuan mencatat pada 2014 terdapat 342 kebijakan diskriminatif, meningkat dari 282 pada 2012, dan 207 pada 2011. Menurut penelusuran Komnas Perempuan, sebanyak 265 dari 342 kebijakan afirmatif yang ada secara langsung menyasar kepada perempuan atas nama agama dan moralitas. Dari 265 kebijakan tersebut, ada 76 kebijakan yang mengatur cara berpakaian berdasarkan penafsiran tunggal ajaran agama penduduk mayoritas di mana hal tersebut membatas hak kemerdekaan berekspresi dan hak kemerdekaan beragama. Selain itu ada 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas di mana 19 di antaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum. Ada pula 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam bagi perempuan yang pengaturannya mengurangi hak perempuan dalam bergerak, pilihan pekerjaan, dan perlindungan serta kepastian hukum. Dalam siaran persnya, Komnas Perempuan mengungkapkan daerah yang banyak mengeluarkan kebijakan diskriminatif adalah Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi selatan, Aceh, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Jawa Timur.
Berbagai data tersebut juga memperlihatkan keterbatasan dan masih kurang efektifnya kerja gerakan perempuan yang berjuang di arena politik formal. Walaupun mereka semua sepakat bahwa peminggiran perempuan sebagai aktor di arena politik dan kehidupan politik terjadi di Indonesia untuk waktu yang lama, namun mereka berbeda dalam strategi dan ideologi bagaimana harus merespons peminggiran perempuan dan strategi untuk berelasi dengan negara dan kekuatan politik formal. Kelemahan dari advokasi gerakan perempuan karena mereka sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih besar belum berhasil bersinergi dengan organisasi pro demokrasi yang lain. Selain itu dengan ideologi yang beragam di dalam gerakan perempuan, minimnya sumber daya, ditambah lingkungan di luar mereka yang tidak terlalu peduli, menjadikan gerakan perempuan mengalami kesulitan untuk merespons tantangan, perluasan capaian, dan pembesaran dampak atas wilayah kerja yang selama ini belum tergarap.
Melihat pengalaman tiga kali pemilu (2004, 2009, 2014) memang belum berhasil mengubah, memberdayakan dan membebaskan perempuan. Perempuan dalam partisipasinya di arena politik di Indonesia belum menjadi subyek yang otonom tapi tetap merupakan kelompok yang mengalami marjinalisasi berlapis secara kultur, etnis, dan gender serta politik. Pembahasan politik representasi perempuan di Indonesia dalam konteks pasca reformasi juga harus dilengkapi dengan fenomena desentralisasi yang telah mengubah peta kekuasaan dalam bentuk distribusi sumber daya dan pengelolaan pemerintahan dari pusat ke daerah. Desentralisasi juga berkontribusi besar dalam revitalisasi lembaga adat, sentiman etnis, dan penggunaan interpretasi agama dalam praktek politik yang berjalan. Tentu saja revitalisasi adat, sentimen etnis dan revitalisasi fundamentalisme agama pertama-tama akan membentur kepentingan kelompok perempuan. Gambaran ini bisa menjelaskan fenomena minimnya representasi perempuan di wilayah seperti Aceh, Bali, Sumatera Barat, NTT, dan Papua yang secara konsisten memperlihatkan keterwakilan perempuan yang minim dalam tiga kali pemilu. Perempuan yang paling awal mendapatkan represi yang mengatasnamakan etnis, adat dan agama seperti yang ditunjukkan lewat banyaknya peraturan daerah dan kebijakan yang kembali meminggirkan perempuan.
Maka sebagai sebuah refleksi terhadap situasi tersebut, Puskapol yang telah melakukan kajian dan naskah kebijakan mengenai representasi politik perempuan sejak 2007 hingga kini, berupaya merancang sebuah peta jalan representasi politik perempuan khususnya pasca Pemilu 2014 dalam menghadirkan kepentingan perempuan di ranah kebijakan dan publik. Sebagaimana digambarkan sebelumnya bahwa dalam tiga kali pemilu era reformasi, pencapaian representasi perempuan di lembaga perwakilan rata-rata hanya 18%, sehingga diperlukan terobosan strategi baru sesuai perkembangan kondisi masyarakat. Beranjak dari situasi permasalahan tersebut, Puskapol bermaksud mengadakan seminar yang menghadirkan
pada pemangku kepentingan dalam representasi politik perempuan untuk memberikan tanggapan, review, masukan, dan strategi ke depan dalam upaya menghadirkan kepentingan perempuan dalam proses politik.
Download File PPT