Mahar Politik dan Korupsi Sistemik

Oleh

Mahar Politik dan Korupsi Sistemik

Mahar Politik dan Korupsi Sistemik

Oleh Delia Wildianti (Peneliti Puskapol UI)

Dinamika pemilihan kepala daerah pada 2018 ini masih diwarnai oleh isu yang relatif sama, salah satu yang saat ini muncul di permukaan adalah terkait pemberian “mahar politik” kepada partai politik pengusung calon kepala daerah. Isu tersebut bukanlah hal yang baru dalam pemilu Indonesia pasca reformasi, terlebih saat ini partai cukup pragmatis dan berorientasi pada kemenangan calon. Konsekuensinya hitungan-hitungan politik untuk memenangkan calon menjadi hal yang prioritas terutama untuk menyikapi besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh para calon.

Berangkat dari hal tersebut, minimal terdapat empat sumber pengeluaran yang menyebabkan tingginya ongkos politik pilkada. Pertama biaya pencalonan (ongkos perahu politik) yang lazim disebut sebagai “mahar politik”. Kedua, dana kampanye yang meliputi atribut kampanye, tim pemenangan, serta penggunaan media elektronik dan cetak. Ketiga, ongkos konsultasi dan survey melalui pelbagai lembaga konsultan dan lembaga survey. Keempat, politik uang yang masih marak dilakukan oleh calon kepala daerah meliputi “serangan fajar”, sumbangan ke kantong pemilih, dan lainnya. Selain itu, dana yang cukup besar adalah perihal keberadaan saksi pada hari perhitungan suara.

Dalam mengikuti kontestasi politik, adalah sebuah keniscayaan bagi calon untuk mengikuti seluruh mekanisme pemilihan secara “demokratis” baik mekanisme internal partai maupun mekanisme eksternal sesuai dengan aturan yang berlaku dalam UU. Mekanisme pemilihan calon kepala daerah di dalam partai ini yang seringkali sulit diawasi dan belum adanya transparansi karena bersifat internal atau sekedar formalitas belaka. Sehingga hal ini membuka peluang untuk adanya transaksi “jual-beli” antara para elit partai dengan bakal calon yang akan diusung oleh partai tersebut.

Belakangan ini isu “mahar politik” ramai diperbincangkan karena salah satu bakal calon Gubernur Jatim dari Gerindra, La Nyalla Matalliti, mengaku dimintai uang 40 miliar oleh Ketua Umum Gerindra untuk membayar saksi dan sebagai syarat agar bisa direkomendasikan menjadi calon Gubernur. Kemudian muncul isu mahar politik lain seperti Dedi Mulyadi, Brigjen Siswandi, dan John Kristi.

Persoalan mahar politik merupakan salah satu yang membuat proses pencalonan membutuhkan waktu yang cukup lama, banyak partai yang mengambil injury time untuk mendaftar ke KPU yang sebenarnya menyiratkan adanya tarik menarik seberapa besar “mahar” yang dikeluarkan dan bahkan ada calon yang batal dicalonkan di detik-detik terakhir. Hal ini menjadi momentum yang penting untuk melihat bahwa ada persoalan serius dalam mekanisme pemilu yang membuat tarik menarik politik menguat yang ujungnya bisa menghadirkan praktik yang koruptif.

Mahar Politik dan Korupsi Sistemik

Sebagai implikasi dari sistem Pilkada langsung berdasarkan suara mayoritas, hal ini cukup menjelaskan bahwa ongkos politik dalam sistem demokrasi saat ini begitu mahal. Berdasarkan penelitian FITRA, anggaran yang dikeluarkan dalam pilkada kabupaten berkisar 5-28 miliar, sedangkan pilkada provinsi kisaran 60-78 miliar. Nilai yang begitu besar tersebut tidaklah sebanding dengan pendapatan resmi yang akan diterima oleh gubernur misalnya, yang hanya memperoleh gaji Rp 8,6 juta/bulan atau total 516 juta selama lima tahun menjabat. Inilah hal-hal yang dapat memicu korupsi dan koalisi (pemufakatan jahat) menjadi cara untuk mengeruk pundi-pundi kesejahteraan rakyat.

Dengan modal awal yang cukup besar, orientasi dari kekuasaan yang dimiliki nantinya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sebelumnya. Catatan Kementerian Dalam Negeri hingga tahun 2016 menunjukan bahwa terdapat 343 bupati/walikota dan 18 gubernur yang tersandung kasus korupsi. Tentu ini adalah catatan buruk proses demokrasi yang sedang kita jalani, karena sesungguhnya kita berharap proses demokrasi bukan hanya bersifat prosedural melainkan mencakup demokrasi yang substansial. Dan itu salah satunya dapat dilihat dari berjalannya keadilan dari proses pencalonan hingga keterpilihan calon dengan proses yang tidak mencederai nilai-nilai demokrasi.

Berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2016, Indonesia berada pada kategori sedang dengan angka IDI 70,09 menurun dari tahun 2015 dengan angka IDI 72,82. Dimana peran partai politik masih sangat minim dan masuk ke dalam kategori “buruk” dengan angka 52,29. Sebagai sumber rekrutmen calon kepala daerah, Partai Politik masih banyak memiliki pekerjaan rumah untuk memperbaiki sistem rekomendasi calon, dan menghindari transaksi “jual beli” calon.

Komitmen Partai Politik dan Pemerintah

Isu mahar politik seringkali tidak berakhir tuntas, tampak ada tapi seperti tidak ada, untuk mengakhiri praktik “mahar politik”, diperlukan upaya serius dari pelbagai  stakeholder baik itu Partai Politik, Bawaslu, PPATK, KPK, ataupun Satgas Anti Politik Uang, juga masyarakat dan pengawal pilkada. Terdapat tiga poin yang perlu menjadi perhatian, khususnya bagi partai politik dan pemerintah.

Pertama, kenaikan jumlah biaya parpol melalui revisi PP No 83/2012 menjadi PP No 1/2018, terkait kenaikan dana bantuan parpol dari 108 rupiah menjadi 1.078 rupiah per suara seharusnya membantu partai politik untuk menghindari praktik “jual-beli” rekomendasi calon. Partai diharapkan dapat secara transparan melaporkan penggunaan dana. Begitupula dengan mekanisme pemilihan calon kepala daerah agar lebih banyak melibatkan kader, sehingga dimungkinkan untuk mengurangi praktik dagang calon oleh elit partai.

Kedua, diperlukan keseriusan Bawaslu untuk menindaklanjuti perkara mahar politik agar tidak menghambat proses demokrasi. Juga perlunya penguatan koordinasi antara Bawaslu dengan PPATK, KPK, dan satgas anti politik uang yang baru dibuat oleh POLRI untuk mengusut tuntas perihal mahar politik yang ditetapkan oleh partai. Selain itu, pembatasan dana kampanye melalui regulasi Pilkada dapat membantu mengurangi praktik ketimpangan dan menurunkan biaya politik para calon kepala daerah.

Ketiga, adanya wacana untuk membentuk Sekolah Kaderisasi Partai nampaknya menjadi salah satu hal baik yang perlu kita pikirkan bersama, karena program ini dapat mendorong para kader yang disiapkan partai untuk dicalonkan menjadi kepala daerah. Bukan berarti mereka yang memiliki uang dan mampu memenuhi biaya politik, namun juga mereka yang telah mengabdi pada partai dan dipersiapkan untuk menjadi calon-calon pemimpin di masa depan. Hal terakhir yang tidak kalah penting adalah perihal pendidikan politik masyarakat yang harus terus dilakukan dan akan selalu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.

 

 

 

Tahun Rilis

Bacaan Terkini

Siaran Pers Diskusi Publik PUSKAPOL UI & Algoritma Reseach and Consulting

September 5, 2024

oleh

PUSKAPOL UI
Baca Selanjutnya

Perkembangan Transisi Energi dan Kesiapan Indonesia Menuju COP29

August 6, 2024

oleh

Muhammad Imam
Baca Selanjutnya

Audiensi dan Policy Brief: Gender dan Korupsi di Indonesia

August 1, 2024

oleh

PUSKAPOL UI
Baca Selanjutnya

Privatisasi Perguruan Tinggi: Dari Kesejahteraan Dosen hingga Kualitas Pendidikan

May 2, 2024

oleh

PUSKAPOL UI
Baca Selanjutnya

The Implications for Indonesian Democracy after Prabowo’s 2024 Win

April 30, 2024

oleh

Hurriyah
Baca Selanjutnya

Buku Saku Pemilih Berdaya

January 18, 2024

oleh

PUSKAPOL UI
Baca Selanjutnya