Mahalnya Ongkos Politik: Catatan Diskursus Pilkada Langsung

Oleh

Mahalnya Ongkos Politik: Catatan Diskursus Pilkada Langsung

Keputusan untuk memilih mekanisme pemilihan daerah secara langsung di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota melalui pasal 56 UU No. 32/2004 merupakan semangat reformasi untuk membangun demokrasi lokal yang demokratis. Meski demikian, pelbagai riset tentang praktik pilkada menemukan bahwa ranah kebebasan politik yang diimpikan telah dibajak oleh oligarki kekuasaan yang menyebabkan pilkada menjadi praktik politik yang mahal dari sisi biaya, tetapi belum memberikan jaminan terwujudnya demokrasi secara substansial.

Kesadaran akan mahalnya ongkos penyelenggaraan Pilkada langsung sebetulnya telah dikritisi dan coba diantisipasi dengan dilaksanakannya Pilkada langsung serentak yang dimulai sejak tahun 2015 di 269 daerah (9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten), tahun 2017 sebanyak 101 daerah (7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten), hingga pilkada langsung serentak 2018 sebanyak 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten) yang akan segera dilaksanakan pada Juni mendatang. Perubahan ini diharapkan mampu menciptakan desain yang baru, sehingga menciptakan efisiensi anggaran penyelenggaraan pilkada  tanpa harus mengesampingkan nilai-nilai demokratis.

Namun demikian, desain peraturan Pilkada langsung kita belum sampai pada memikirkan bagaimana menekan ongkos politik peserta pemilu. Setiap calon dibayang-bayangi oleh modal politik yang perlu disiapkan untuk terjun dalam kontestasi kepala daerah, dari perkara mahar politik untuk mendapatkan rekomendasi partai (perahu politik), biaya menggerakkan mesin partai, mendanai tim pemenangan, biaya kampanye online dan offline, sumbangan politik pada masyarakat, hingga pembayaran saksi di TPS. Sehingga dengan kondisi seperti ini, munculnya diskursus perubahan sistem pemilihan kepala daerah – dari pemilihan langsung (direct election) menjadi pemilihan oleh DPRD (indirect election) – sebagaimana pernah terjadi pada saat rancangan UU Pilkada tahun 2014 lalu selalu menjadi wacana alternatif di tengah keputusasaan mahalnya ongkos politik.

Urgensi Pilkada Langsung (Direct Election)

Besarnya ongkos politik Pilkada langsung menyiratkan adanya keinginan pelbagai pihak untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah pada DPRD. Sejarah mencatat, kita pernah mengalami perdebatan mengenai hal tersebut saat DPR menyetujui untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah pada DPRD yang menuai protes dari masyarakat, akademisi, dan LSM. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dianggap sulit untuk mendorong calon-calon berkualitas, sulit untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas, serta membatasi hak politik masyarakat (political rights). Dengan demikian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Perppu ini sekaligus mencabut UU No. 22 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Walaupun pilkada langsung masih menyisakan banyak persoalan, namun bukan berarti mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah pilihan yang lebih baik. Sebagaimana diungkapkan oleh Syamsudin Haris, pilkada langsung dibutuhkan dan memiliki banyak urgensi guna memperbaiki sistem demokrasi Indonesia. Pertama, dapat memutus mata rantai oligarki partai yang mewarnai dinamika politik dan DPRD; Kedua, Pilkada diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas kepala daerah terpilih; Ketiga, Pilkada diperlukan untuk menciptakan efektifitas dan stabilitas politik pemerintahan di tingkat lokal; Keempat, untuk mendorong munculnya figur pemimpin baru; Kelima, meningkatkan kualitas partisipasi politik masyarakat dan keterwakilan elit. Minimal dengan dilaksanakannya pilkada langsung, maka tiga prinsip mendasar yaitu demokratis, akuntabel, dan berkelanjutan memiliki ruang untuk dapat diwujudkan.

Pilkada Murah dan Demokratis?

Menurut hemat saya, berbicara tentang biaya Pilkada langsung yang murah, tentu tidak lepas dari regulasi yang mendukung pada tercapainya hal tersebut. Pergeseran politik ke ranah personal membuat politisi atau calon kepala daerah harus membangun image dan branding yang mengakibatkan ongkos politik menjadi mahal. Sehingga pembatasan dana kampanye menjadi hal yang sangat krusial karena akan berkaitan dengan pemerataan kemampuan finansial para calon kepala daerah.

UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada mengatur pembatasan sumbangan dana kampanye dari perseorangan paling banyak 75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak 750 juta. KPU dan Bawaslu baik di tingkat daerah hingga pusat harus bertindak secara tegas, teliti, dan cerdas dalam melihat laporan dana kampanye yang telah diserahkan oleh para calon nantinya. Selain itu, perlu dilakukannya audit keuangan parpol secara berkala, dan mewajibkan para calon untuk melaporkan hak kekayaan yang dimiliki saat mencalonkan diri menjadi cakada adalah poin yang perlu diperhatikan untuk meminimalisir terjadinya praktik koruptif akibat mahalnya biaya politik.

Pilkada langsung serentak diharapkan bukan hanya instrumen yang mekanistik dan teknokratis, tetapi juga bagian dari pendidikan politik sebagai solusi atas apatisme publik yang terjadi.  Pilkada serentak adalah medan kontestasi politik dengan seperangkat aturan main yang tidak secara otomatis menghasilkan figur-figur pemimpin yang transformasional. Oleh karenanya, publik harus memiliki kapasitas berdemokrasi untuk melakukan penyaringan para elit tersebut.

Pilkada langsung sebagai anak kandung dari gerakan reformasi tentu masih banyak menyisakan persoalan, namun tetap melangkah dan melakukan perbaikan melalui regulasi pilkada merupakan sebuah proses yang baik. Karena sesungguhnya, demokrasi kita adalah pilihan terbaik dari pilihan terburuk yang ada (the best of the worst), dan sudah sepatutnya kita terus belajar tanpa harus kembali ke belakang.*

Tahun Rilis

Bacaan Terkini

Siaran Pers Diskusi Publik PUSKAPOL UI & Algoritma Reseach and Consulting

September 5, 2024

oleh

PUSKAPOL UI
Baca Selanjutnya

Perkembangan Transisi Energi dan Kesiapan Indonesia Menuju COP29

August 6, 2024

oleh

Muhammad Imam
Baca Selanjutnya

Audiensi dan Policy Brief: Gender dan Korupsi di Indonesia

August 1, 2024

oleh

PUSKAPOL UI
Baca Selanjutnya

Privatisasi Perguruan Tinggi: Dari Kesejahteraan Dosen hingga Kualitas Pendidikan

May 2, 2024

oleh

PUSKAPOL UI
Baca Selanjutnya

The Implications for Indonesian Democracy after Prabowo’s 2024 Win

April 30, 2024

oleh

Hurriyah
Baca Selanjutnya

Buku Saku Pemilih Berdaya

January 18, 2024

oleh

PUSKAPOL UI
Baca Selanjutnya