Perempuan tidak harus mengalami kekerasan untuk berpartisipasi aktif dalam politik!
Kekerasan terhadap perempuan dalam pemilu (Violence Against Women in Election/VAWE) yang dilakukan atas motivasi diskriminasi gender atau kebencian terhadap perempuan (misogini) harus diakui sebagai kekerasan politik yang legitimate dan dipahami sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi untuk menjamin penyelenggaraan pemilu yang lebih inklusif dan aman bagi semua.
Dalam kehidupan berdemokrasi, pemilu merupakan mekanisme penting yang harus dilalui seseorang untuk bisa berkiprah di ruang politik formal. Akan tetapi, ketatnya persaingan dalam pemilu kerap memicu para kandidat yang berpartisipasi di dalamnya untuk melanggengkan tindakan kekerasan (electoral violence), baik yang melibatkan kekerasan fisik maupun intimidasi psikologis, demi memenangkan kontestasi. Ironisnya, kekerasan tersebut dapat berlangsung di sepanjang siklus pemilu, baik sejak masa pra pemilu, kampanye, pemungutan suara, hingga masa pasca pemilu.
Terdapat banyak scholars yang telah menaruh perhatian untuk melakukan penelitian menyoal kekerasan pemilu. Namun, pembahasan dalam studi-studi tersebut seringkali masih luput untuk mempertimbangkan (atau bahkan mengabaikan) dimensi gender ketika memahami terjadinya kekerasan dalam pemilu. Memang, apa pentingnya dimensi gender dalam analisis kekerasan pemilu?
Schneider dan Carroll (2020) dalam “Conceptualizing More Inclusive Election” menjelaskan, kerangka konseptual yang sensitif gender diperlukan untuk memahami terjadinya kekerasan dalam pemilu sebagai alternatif dari kerangka konseptual konvensional yang sudah ada sebelumnya. Menurut keduanya, a gendered conceptual framework dapat berguna untuk mengungkap jenis dan pola kekerasan yang mungkin tidak terlihat atau terabaikan di dalam literatur kekerasan politik. Salah satu contohnya adalah, kekerasan yang dialami perempuan ketika mereka berpartisipasi dalam pemilu atau kehidupan politik secara lebih luas. Lantas, bagaimana kerangka konseptual yang sensitif gender (a gendered conceptual framework) mampu menjelaskan terjadinya kekerasan pemilu secara lebih inklusif? Dalam literatur, Schneider dan Carroll (2020) menjelaskan: kekerasan pemilu tidak hanya dapat terjadi atas dasar kepentingan politik untuk memenangkan kontestasi, tetapi ada juga kekerasan pemilu yang hanya menyasar perempuan karena bias/diskriminasi gender (misogini).
Untuk menjelaskan hal itu, Schneider dan Carroll (2020) membagi kekerasan pemilu menjadi dua kategori sebagaimana yang secara lebih detail dielaborasi pada bagan berikut:
Berangkat dari pemahaman itu, pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: Seperti apa VAWE terjadi dalam konteks kepemiluan di Indonesia? Bagaimana VAWE turut memberikan pengaruh terhadap rendahnya tingkat keterwakilan politik perempuan di Indonesia?
Kekerasan terhadap Perempuan di Pemilu Indonesia
Berdasarkan temuan studi, kekerasan terhadap perempuan dalam Pemilu seringkali dimotivasi oleh diskriminasi atau bias gender kepada perempuan yang aktif secara politik (perempuan kandidat pemilu, pemilih, aktivis, jurnalis, dsb) sebagai akibat dari budaya patriarki dan pandangan misogini terhadap perempuan.
Contoh Kekerasan terhadap Perempuan di Pemilu
Dari tabel tersebut, kita dapat menganalisis bahwa VAWE:
- Ditujukan kepada perempuan semata-mata karena mereka adalah perempuan (diskriminasi gender)
- Dapat terjadi dalam bentuk kekerasan psikologis, fisik, simbolik, hingga seksual
- Dapat berlangsung di ruang publik dan privat
- Terjadi hanya dapat menyasar peserta pemilu, tetapi juga perempuan yang secara umum berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik (misalnya, pemilih dan pengurus partai partai)
Berdasarkan temuan tersebut, terdapat setidaknya satu poin penting yang layak digarisbawahi, sehingga kita dapat memahami bagaimana VAWE masih mendapatkan tempat di dalam sistem politik-elektoral kita, ialah bahwa VAWE terjadi sebagai reaksi atas ketersinggungan maskulinitas terhadap perempuan yang dianggap telah menyimpang dari peran gender tradisional atas partisipasi aktifnya di ranah politik. Karenanya, pelaku VAWE (termasuk kekerasan dalam politik) bisa berasal dari kalangan manapun selama mereka memandang perempuan sebagai ancaman bagi dominasi kekuasaan laki-laki (Komnas Perempuan, 2023).
Snowball Effect Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Pemilu
KBG terhadap perempuan dalam Pemilu berdampak secara tidak langsung dan memberikan snowball effect terhadap keterwakilan politik perempuan. Kekerasan ini menurunkan keberanian perempuan untuk berpartisipasi dalam politik dan mengakibatkan keterwakilan perempuan yang minim. Persepsi maskulin dalam politik turut memperparah hambatan ini, mendorong efek domino yang membuat perempuan semakin sulit masuk ke arena politik dan memengaruhi jumlah calon perempuan yang diusung oleh partai.
Perempuan dalam Pemilu: Terhimpit Diskriminasi Gender & Motif Politis
Tak hanya dirundung kekerasan pemilu akibat bias/diskriminasi gender, temuan studi juga menunjukkan bahwa perempuan ternyata mengalami kekerasan ganda karena turut menjadi korban atas tindakan malpraktik pemilu berbasis non-gender. Malpraktik pemilu semacam ini pola pelanggarannya tidak dapat diidentifikasi berbasis gender, tetapi didasarkan pada orientasi untuk memenangkan kontestasi yang dilakukan oleh lawan politiknya, baik oleh perempuan maupun laki-laki. Hal ini menempatkan perempuan pada arena persaingan yang unik dan tidak setara apabila dibandingkan dengan kontestan laki-laki yang umumnya hanya kerap dihadapkan pada persoalan malpraktik pemilu lantaran cenderung minim mengalami kekerasan berbasis diskriminasi atau bias gender.
Peran Pemerintah, Publik, dan Partai Politik dalam Mencegah Kekerasan
Diperlukan adanya kolaborasi bersama antara pemerintah, publik, serta stakeholder terkait untuk mencegah dan menanggulangi persoalan VAWE. Hal tersebut dapat dimulai dengan memformulasikan dan menerapkan aturan anti-kekerasan yang adil dan sensitif gender, sehingga tercipta lingkungan politik yang aman dan setara bagi semua. Selain itu, perlu untuk melakukan pengawasan dan advokasi untuk mendorong keterwakilan perempuan secara lebih kuat dan melindungi hak-hak perempuan dalam proses demokrasi!
Mari Wujudkan Politik yang Aman dan Inklusif untuk Semua!
Untuk memahami lebih lanjut bagaimana kekerasan terhadap perempuan dalam Pemilu berdampak pada keterwakilan politik perempuan di Indonesia, selengkapnya baca artikel jurnal Delia Wildianti dan Putri Ramadhana melalui:
https://ejournal.brin.go.id/jmi/article/view/8695/6879
Bersama kita dorong perubahan menuju politik yang adil bagi perempuan!
PUSKAPOL UI
Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (PUSKAPOL UI) adalah lembaga kajian yang bergerak di bidang riset, advokasi, konsultansi, publikasi, serta pengabdian masyarakat. Berdiri sejak tahun 1993, PUSKAPOL UI (dulu bernama Laboratorium Ilmu Politik) dibentuk oleh Departemen Ilmu Politik FISIP UI sebagai upaya untuk merespons perkembangan sosial politik di Indonesia dan kebutuhan alternatif solusi yang didasarkan pada kajian dan penelitian yang dilakukan secara serius. Sebagai lembaga kajian berbasis kampus, PUSKAPOL UI berusaha memproduksi pengetahuan yang berdasarkan pada kaidah ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan publik, di mana hasil-hasil riset PUSKAPOL UI diupayakan untuk mencari dan mengembangkan berbagai alternatif solusi dalam memecahkan persoalan sosial dan politik yang ada.